Kamis, 25 Oktober 2007

Biarkan Masa Depan Datang Sendiri



Publikasi : Tue, 7 Jun 2005


"Telah pasti datangnya ketetapan Alloh, maka janganlah kamu meminta agar disegerakan (datang ) nya". (QS. An Nahl : 1)

Jangan pernah mendahului sesuatu yang belum terjadi! Apakah anda mau mengeluarkan kandungan sebelum waktunya dilahirkan, atau memetik buah buahan sebelum masak? Hari esok adalah sesuatu yang belum nyata dan dapat diraba, belum terwujud, dan tidak memiliki rasa dan warna.

Jika demikian, mengapa kita harus menyibukkan diri dengan hari esok, mencemaskan kesialan kesialan yang mungkin akan terjadi padanya, memikirkan kejadian kejadian yang akan menimpanya, dan meramalkan bencana bencana yang bakal ada didalamnya? Bukankah kita juga tidak tahu apakah kita akan bertemu dengannya atau tidak, dan apakah hari esok kita itu akan berwujud kesenangan atau kesedihan?

Yang jelas, hari esok masih ada dalam alam gaib dan belum turun ke bumi. Maka, tidak sepantasnya kita menyeberangi sebuah jembatan sebelum sampai di atasnya. Sebab, siapa yang tahu bahwa kita akan sampai atau tidak pada jembatan itu. Bisa jadi kita akan terhenti jalan kita sebelum sampai ke jembatan itu, atau mungkin pula jembatan itu hanyut terbawa arus terlebih dahulu sebelum kita sampai di atasnya. Dan bisa jadi pula, kita akan sampai pada jembatan itu dan kemudian menyeberanginya.

Dalam syariat, memberi kesempatan kepada pikiran untuk memikirkan masa depan dan membuka buka alam gaib, dan kemudian terhanyut dalam kecemasan kecemasan yang baru di duga darinya, adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. pasalnya hal itu termasuk thuulul amal (angan angan yang terlalu jauh). Secara nalar, tindakan itu pun tidak masuk akal, karena sama halnya dengan berusaha perang melawan bayang bayang. Namun ironis, kebanyakan manusia di dunia ini justru banyak termakan oleh ramalan ramalan tentang kelaparan, kemiskinan, wabah penyakit dan krisis ekonomi yang kabarnya akan menimpa mereka. Padahal, semua itu hanyalah bagian dari kurikulum yang diajarkan di "sekolah sekolah syetan".

"setan menjanjikan (menakut nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Alloh menjanjikan untukmu ampunan daripadaNya dan karunia." (QS. Al Baqarah : 268)

Mereka yang menangis sedih menatap masa depan adalah menyangka diri mereka akan hidup kelaparan, menderita sakit selama setahun, dan memperkirakan umur dunia ini tinggal seratus tahun lagi. Padahal, orang yang sadar bahwa usia hidupnya berada di 'genggaman yang lain' tentu tidak akan menggadaikan untuk sesuatu yang tidak ada. Dan orang yang tidak tahu kapan akan mati, tentu salah besar bila justru menyibukkan diri dengan sesuatu yang belum ada dan tak terwujud.

Biarkan hari esok itu datang dengan sendirinya. jangan pernah menanyakan kabar beritanya, dan jangan pula pernah menanti serangan petakanya. Sebab, hari ini anda sudah sangat sibuk.

Jika anda heran, maka lebih mengherankan lagi orang orang yang berani menebus kesedihan suatu masa yang belum tentu matahari terbit di dalamnya dengan bersedih pada hari ini. Oleh karena itu, hindarilah angan angan yang berlebihan.

wallahu'alam

(La Tahzan ! DR. 'Aidh al-Qarni)

Ilustrasi Manajeman

Suatu hari, seorang ahli 'Manajemen Waktu' berbicara di depan sekelompok mahasiswa bisnis, dan ia memakai ilustrasi yg tidak akan dengan mudah dilupakan oleh para siswanya.

Ketika dia berdiri dihadapan siswanya dia berkata: "Baiklah, sekarang waktunya kuis " Kemudian dia mengeluarkan toples berukuran galon yg bermulut cukup lebar, dan meletakkannya di atas meja.

Lalu ia juga mengeluarkan sekitar selusin batu berukuran segenggam tangan dan meletakkan dengan hati- hati batu-batu itu kedalam toples.

Ketika batu itu memenuhi toples sampai ke ujung atas dan tidak ada batu lagi yg muat untuk masuk ke dalamnya, dia bertanya:" Apakah toples ini sudah penuh?"

Semua siswanya serentak menjawab, "Sudah!"

Kemudian dia berkata, "Benarkah?"

Dia lalu meraih dari bawah meja sekeranjang kerikil. Lalu dia memasukkan kerikil-kerikil itu ke dalam toples sambil sedikit mengguncang-guncangkannya, sehingga kerikil itu mendapat tempat diantara celah-celah batu-batu itu.

Lalu ia bertanya kepada siswanya sekali lagi: "Apakah toples ini sudah penuh?"

Kali ini para siswanya hanya tertegun, "Mungkin belum!", salah satu dari siswanya menjawab.

"Bagus!" jawabnya.

Kembali dia meraih kebawah meja dan mengeluarkan sekeranjang pasir. Dia mulai memasukkan pasir itu ke dalam toples, dan pasir itu dengan mudah langsung memenuhi ruang- ruang kosong diantara kerikil dan bebatuan.

Sekali lagi dia bertanya, "Apakah toples ini sudah penuh?"

"Belum!" serentak para siswanya menjawab sekali lagi dia berkata, "Bagus!"

Lalu ia mengambil sebotol air dan mulai menyiramkan air ke dalam toples, sampai toples itu terisi penuh hingga ke ujung atas.

Lalu si Ahli Manajemen Waktu ini memandang kpd para siswanya dan bertanya: "Apakah maksud dari ilustrasi ini?"

Seorang siswanya yg antusias langsung menjawab, "Maksudnya, betapapun penuhnya jadwalmu, jika kamu berusaha kamu masih dapat menyisipkan jadwal lain kedalamnya!"

"Bukan!", jawab si ahli, "Bukan itu maksudnya. Sebenarnya ilustrasi ini mengajarkan kita bahwa :

JIKA BUKAN BATU BESAR YANG PERTAMA KALI KAMU MASUKKAN, MAKA KAMU TIDAK AKAN PERNAH DAPAT MEMASUKKAN BATU BESAR ITU KE DALAM TOPLES TERSEBUT.

"Apakah batu-batu besar dalam hidupmu? Mungkin anak-anakmu, suami/istrimu, orang-orang yg kamu sayangi, persahabatanmu, kesehatanmu, mimpi-mimpimu. Hal-hal yg kamu anggap paling berharga dalam hidupmu.

Ingatlah untuk selalu meletakkan batu-batu besar tersebut sebagai yg pertama, atau kamu tidak akan pernah punya waktu untuk memperhatikannya.

Jika kamu mendahulukan hal-hal yang kecil dalam prioritas waktumu, maka kamu hanya memenuhi hidupmu dengan hal-hal yang kecil, kamu tidak akan punya waktu untuk melakukan hal yang besar dan berharga dalam hidupmu".

Sesungguhnya Cinta Itu (Tidak) Kontroversial

Ingatkah saat Anda dulu jatuh cinta? Atau mungkin saat ini Anda tengah mengalaminya? Itulah yang sedang terjadi pada salah seorang sahabat saya. Akhir-akhir ini tingkah lakunya berubah drastis. Ia jadi suka termenung dan matanya sering menerawang jauh. Jemari tangannya sibuk ketak-ketik di atas tombol telpon genggamnya, sambil sesekali tertawa renyah, berbalas pesan dengan pujaan hatinya. Di lain waktu dia uring-uringan, namun begitu mendengar nada panggil polyphonic dari alat komunikasi kecil andalannya itu, wajahnya seketika merona. Lagu-lagu romantis menjadi akrab di telinganya. Penampilannya pun kini rapi, sesuatu yang dulu luput dari perhatiannya. Bahkan menurutnya nuansa mimpi pun sekarang lebih berbunga-bunga. Baginya semuanya jadi tampak indah, warna-warni, dan wangi semerbak.

Lebih mencengangkan lagi, di apartemennya bertebaran buku-buku karya Kahlil Gibran, pujangga Libanon yang banyak menghasilkan masterpiece bertema cinta. Tak cuma menghayati, kini dia pun menjadi penyair yang mampu menggubah puisi cinta. Sesekali dilantunkannya bait-bait syair. "Cinta adalah kejujuran dan kepasrahan yang total. Cinta mengarus lembut, mesra, sangat dalam dan sekaligus intelek. Cinta ibarat mata air abadi yang senantiasa mengalirkan kesegaran bagi jiwa-jiwa dahaga."

Saya tercenung melihat cintanya yang begitu mendalam. Namun, tak urung menyeruak juga sebersit kontradiksi yang mengusik lubuk hati. Sebagai manusia, wajar jika saya ingin merasakan totalitas mencintai dan dicintai seseorang seperti dia. Tapi bukankah kita diwajibkan untuk mencintai Allah lebih dari mencintai makhluk dan segala ciptaan-Nya?

Lantas apakah kita tidak boleh mencintai seseorang seperti sahabat saya itu? Bagaimana menyikapi cinta pada seseorang yang tumbuh dari lubuk hati? Apakah cinta itu adalah karunia sehingga boleh dinikmati dan disyukuri ataukah berupa godaan sehingga harus dibelenggu? Bagaimana sebenarnya Islam menuntun umatnya dalam mengapresiasi cinta? Tak mudah rasanya menemukan jawaban dari kontroversi cinta ini.

Alhamdulillah, suatu hari ada pencerahan dari tausyiah dalam sebuah majelis taklim bulanan. Islam mengajarkan bahwa seluruh energi cinta manusia seyogyanya digiring mengarah pada Sang Khalik, sehingga cinta kepada-Nya jauh melebihi cinta pada sesama makhluk. Justru, cinta pada sesama makhluk dicurahkan semata-mata karena mencintai-Nya. Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah 165, "Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.

Jadi Allah SWT telah menyampaikan pesan gamblang mengenai perbedaan dan garis pemisah antara orang-orang yang beriman dengan yang tidak beriman melalui indikator perasaan cintanya. Orang yang beriman akan memberikan porsi, intensitas, dan kedalaman cintanya yang jauh lebih besar pada Allah. Sedangkan orang yang tidak beriman akan memberikannya justru kepada selain Allah, yaitu pada makhluk, harta, atau kekuasaan.

Islam menyajikan pelajaran yang berharga tentang manajemen cinta; tentang bagaimana manusia seharusnya menyusun skala prioritas cintanya. Urutan tertinggi perasaan cinta adalah kepada Allah SWT, kemudian kepada Rasul-Nya (QS 33: 71). Cinta pada sesama makhluk diurutkan sesuai dengan firman-Nya (QS 4: 36), yaitu kedua orang ibu-bapa, karib-kerabat (yang mahram), anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya. Sedangkan harta, tempat tinggal, dan kekuasaan juga mendapat porsi untuk dicintai pada tataran yang lebih rendah (QS 9: 24).
Subhanallah!

***

Perasaan cinta adalah abstrak. Namun perasaan cinta bisa diwujudkan sebagai perilaku yang tampak oleh mata. Di antara tanda-tanda cinta seseorang kepada Allah SWT adalah banyak bermunajat, sholat sunnah, membaca Al Qur’an dan berdzikir karena dia ingin selalu bercengkerama dan mencurahkan semua perasaan hanya kepada-Nya. Bila Sang Khaliq memanggilnya melalui suara adzan maka dia bersegera menuju ke tempat sholat agar bisa berjumpa dengan-Nya. Bahkan bila malam tiba, dia ikhlas bangun tidur untuk berduaan (ber-khalwat) dengan Rabb kekasihnya melalui shalat tahajjud. Betapa indahnya jalinan cinta itu!

Tidak hanya itu. Apa yang difirmankan oleh Sang Khaliq senantiasa didengar, dibenarkan, tidak dibantah, dan ditaatinya. Kali ini saya baru mengerti mengapa iman itu diartikan sebagai mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Seluruh ayat-Nya dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa sehingga seseorang yang mencintai-Nya merasa sanggup berkorban dengan jiwa, raga, dan harta benda demi membela agama-Nya.

Totalitas rasa cinta kepada Allah SWT juga merasuk hingga sekujur roh dan tubuhnya. Dia selalu mengharapkan rahmat, ampunan, dan ridha-Nya pada setiap tindak-tanduk dan tutur katanya. Rasa takut atau cemas selalu timbul kalau-kalau Dia menjauhinya, bahkan hatinya merana tatkala membayangkan azab Rabb-nya akibat kealpaannya. Yang lebih dahsyat lagi, qalbunya selalu bergetar manakala mendengar nama-Nya disebut. Singkatnya, hatinya tenang bila selalu mengingat-Nya. Benar-benar sebuah cinta yang sempurna.

Puji syukur ya Allah, saya menjadi lebih paham sekarang! Cinta memang anugerah yang terindah dari Maha Pencipta. Tapi banyak manusia keliru menafsirkan dan menggunakannya. Islam tidak menghendaki cinta dikekang, namun Islam juga tidak ingin cinta diumbar mengikuti hawa nafsu seperti kasus sahabat saya tadi.

Jika saja dia mencintai Allah SWT melebihi rasa sayang pada kekasihnya. Bila saja pujaan hatinya itu adalah sosok mukmin yang diridhai oleh-Nya. Dan andai saja gelora cintanya itu diungkapkan dengan mengikuti syariat-Nya yaitu bersegera membentuk keluarga sakinah, mawaddah, penuh rahmah dan amanah... Ah, betapa bahagianya dia di dunia dan akhirat...

Alangkah indahnya Islam! Di dalamnya ada syariat yang mengatur bagaimana seharusnya manusia mengelola perasaan cintanya, sehingga menghasilkan cinta yang lebih dalam, lebih murni, dan lebih abadi. Cinta seperti ini diilustrasikan dalam sebuah syair karya Ibnu Hasym, seorang ulama sekaligus pujangga dan ahli hukum dari Andalusia Spanyol dalam bukunya Kalung Burung Merpati (Thauqul Hamamah), "Cinta itu bagaikan pohon, akarnya menghujam ke tanah dan pucuknya banyak buah.

Wallahua’lam bish-showab.

10 Wasiat kepada Nabi Musa

Abul-Laits Assamarqandi meriwayatkan kepada sanadnya dari Jabir bin Abdillah r.a. berkata Rasulullah S.A.W bersabda : "Allah S.W.T. telah memberikan kepada Nabi Musa bin Imran a.s. dalam alwaah 10 bab :

Wahai Musa jangan menyekutukan aku dengan suatu apa pun bahwa aku telah memutuskan bahwa api neraka akan menyambar muka orang-orang musyrikin.

Taatlah kepada-Ku dan kedua orang tuamu nescaya Aku peliharamu dari sebarang bahaya dan akan Aku lanjutkan umurmu dan Aku hidupkan kamu dengan penghidupan yang baik.

Jangan sekali-kali membunuh jiwa yang Aku haramkan kecuali dengan hak nescaya akan menjadi sempit bagimu dunia yang luas dan langit dengan semua penjurunya dan akan kembali engkau dengan murka-Ku ke dalam api neraka.

Jangan sekali-kali sumpah dengan nama-Ku dalam dusta atau durhaka sebab Aku tidak akan membersihkan orang yang tidak mensucikan Aku dan tidak mengagung-agungkan nama-Ku.

Jangan hasad dengki dan irihati terhadap apa yang Aku berikan kepada orang-orang, sebab penghasut itu musuh nikmat-Ku, menolak kehendak-Ku, membenci kepada pembahagian yang Aku berikan kepada hamba-hamba-Ku dan sesiapa yang tidak meninggalkan perbuatan tersebut, maka bukan daripada-Ku.

Jangan menjadi saksi terhadap apa yang tidak engkau ketahui dengan benar-benar dan engkau ingati dengan akalmu dan perasaanmu sebab Aku menuntut saksi-saksi itu dengan teliti atas persaksian mereka.

Jangan mencuri dan jangan berzina isteri jiran tetanggamu sebab nescaya Aku tutup wajah-Ku daripadamu dan Aku tutup pintu-pintu langit daripadanya.

Jangan menyembelih korban untuk selain dari-Ku sebab Aku tidak menerima korban kecuali yang disebut nama-Ku dan ikhlas untuk-Ku.

Cintailah terhadap sesama manusia sebagaimana yang engkau suka terhadap dirimu sendiri.

Jadikan hari Sabtu itu hari untuk beribadat kepada-Ku dan hiburkan anak keluargamu. Kemudian Rasulullah S.A.W bersabda lagi : "Sesungguhnya Allah S.W.T menjadikan hari Sabtu itu hari raya untuk Nabi Musa a.s. dan Allah S.W.T memilih hari Juma'at sebagai hari raya untukku."

sumber : File 1001 KisahTeladan by Heksa

Khairu Ummah

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dariyang munkar, dan beriman kepada Allah…” [QS 3:110]

Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan kita untuk mentakwin (membentuk) ummat untuk bersatu. Kalau kita perhatikan ayat-ayat yang memerintahkan tentang persatuan, maka terlihat jelas bahwa perintah untuk berjamaah dan bersatu itu tidak berhenti hanya pada terbentuknya jamaah dan persatuan itu, tapi kemudian bagaimana jamaah dan persatuan yang telah terbentuk itu selanjutnya bisa mengemban risalah da’wah. Risalah amar ma’ruf nahi munkar.

Dan yang perlu kita perhatian dari ungkapan ”ya’muruna bil ma’ruf yanhauna anil munkar” memiliki makna mendalam bahwa tidak sekedar kita bisa berda’wah menyampaikan yang ma’ruf dan meninggalkan yang munkar, tapi dari ungkapan amr dan nahi itu baru betul-betul dikatakan amr dan nahi kalau posisi kita sudah diatas.

Ketika kita menggulirkan kebijakan yang sifatnya mengikat dan posisi kita berada di atas, barulah dia betul-betul sebagai amr (perintah). Begitu juga ketika kita melarang, baru betul-betul larangan yang efektif kalau itu berupa kebijakan yang turun dari atas. Jamaah ini juga perlu merekayasa dan terus berusaha agar posisi-posisi strategis bisa kita peroleh. Dari situlah amr ma’ruf dan nahi munkar betul-betul bisa kita terapkan.

Sementara itu kata ma’ruf juga belum dikatakan suatu yang ma’ruf -sekalipun itu kebijakan yang sifatnya dari atas dan mengikat- kalau belum betul-betul mengakar di tengah-tengah masyarakat. Sebab al-ma’ruf itu seperti didefinisikan oleh Thoriq Al Asfahani adalah ma arofahu al-aqlu was syar’u, sedangkan munkar adalah ma ankarohu al-aqlu was syar’u. Dalam artian bahwa sekalipun sudah berupa kebijakan yang sifatnya mengikat -sesuatu yang baik yang harus dilakukan- tapi kalau dimasyarakat masih suatu yang asing, belum mengakar dan membudaya, dan belum mendapatkan dukungan mayoritas, maka belum betul-betul merupakan yang al-ma’ruf. Tetapi itu suatu kebaikan yang masih munkar. Artinya kebaikan yang masih dirasakan asing.

Begitu juga kemunkaran, tidak cukup dengan adanya ketetapan atau kebijakan yang sifatnya mengikat yang menolak kemunkaran, tetapi bagaimana dia juga harus disikapi sebagai sesuatu yang munkar. Artinya yunkiruhu an-naas, keberadaannya itu ditolak sehingga orang merasakan sesuatu yang betul-betul janggal ketika kemunkaran muncul ditengah-tengah masyarakat. Dan inilah risalah kita.

Dari ungkapan ya’muruna bil ma’ruf wa yanhauna ‘anil munkar mengandung makna yang sangat dalam, bagaimana agar lewat jamaah ini kemudian kita bisa secara bertahap merekayasa posisi-posisi strategis. Bisa kita peroleh dan raih kemudian dari situ kita bisa menurunkan kebijakan-kebijakan yang bisa mengikat, dan di sisi lainnya bagaimana kita berupaya mensosialisasikan kebenaran itu sehingga betul-betul bisa diterima dan memasyarakat dan mendapatkan dukungan. Begitu juga sebaliknya dalam kemunkaran.

Ketika peran ini kita lakukan secara berkesinambungan dan ketika kebenaran itu bisa ditegakkan serta dikokohkan maka berangsur-angsur kemunkaran akan terkikis habis. Ketika peran ini kita lakukan maka barulah keterlibatan kita dalam berjamaah itu mempunyai nilai. Jadi nilai dari sebuah jamaah itu adalah ketika kita telah melakukan peran kita sebagai jamaah bukan memangkas keterlibatan kita dalam jamaah itu.

Oleh karena itu Muhammad Quthb ketika menjelaskan tentang kuntum khairi ummah ukhrijat linnas mengatakan bahwa khairiyyatul ummat itu terletak bukan pada waktu sahabat berada dekat Rasulullah saw, tapi khairiyyahnya itu terletak pada peran yang mereka lakukan yaitu ta’muruna bil ma’ruf wa tanhauna ‘anil munkar wa tu’minuna billah. Ketika peran ini dilakukan dalam berjamaah maka khairiyyah itu akan dinisbatkan. Jadi sifat khairiyyah ini bukan merupakan sifat yang khusus diberikan pada para sahabat saja, tetapi sifat itu juga akan diberikan kepada setiap ummat yang mengemban risalah amar ma’ruf nahi munkar.

Dan begitu pentingnya peran ini sehingga didalam surat yang dikemukakan diatas (QS 3:110) dikedepankan penyebutan amar ma’ruf nahi munkar ketimbang menyebutkan keimanan. Penempatan amar ma’ruf nahi munkar yang dikedepankan tinimbang keimanan ini menunjukkan bahwa masalah amar ma’ruf nahi munkar memiliki posisi yang sangat penting dan strategis. Maka ketika peran ini telah kita lakukan maka baru akan mendapatkan julukan khaira ummah dan dengan sendirinya al-falah akan datang, ulaikahumul muflihun.

sumber : keadilan.or.id

Din itu nasihat

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Dariy r.a., bahwasanya Nabi saw. bersabda yang artinya, "Din itu adalah nasihat." Kami bertanya, "Kepada siapa?" Beliau menjawab, "Kepada Allah, kepada kitab-Nya, kepada Rasul-Nya, kepada pemimpin kaum muslimin, dan kepada segenap kaum muslimin pada umumnya." (HR Muslim)

Pengertian Nasihat

Kata nasihat berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata kerja nashaha yang berarti murni atau bersih dari segala kotoran, tetapi bisa juga berarti menjahit. Imam Al-Khaththabi r.a. menjelaskan arti kata nasihat sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Rajab r.a. dalam kitabnya, Jami'atul Ulum wal-Hikam, "Nasihat adalah kata untuk menerangkan suatu pengertian, yaitu keinginan kebaikan untuk orang yang dinasihati."

Adapun sabda Rasulullah saw. bahwa din itu adalah nasihat, hal itu bukan berarti bahwa nasihat itu merupakan keseluruhan dari din ini, tetapi maknanya sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Daqiqil Ied dalam syarah Al-Arbain an-Nawawiyah bahwa nasihat itu merupakan tiang serta tonggak dari din ini, sebagaimana sabda beliau, "Haji itu Arafah."

Pengertian Nasihat kepada Allah

Imam Al-Khaththabi rhm. berkata, "Hakikat kata kepada Allah sesungguhnya kembali kepada hamba itu sendiri dalam nasihatnya kepada diri sendiri, karena Allah tidak membutuhkan nasihat."

Pengertian nasihat kepada Allah adalah dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, baik perintah yang wajib maupun yang sunah, begitu pula meninggalkan larangan yang makruh, lebih-lebih yang haram.

Dan, kewajiban yang paling utama adalah mentauhidkan Allah. Setiap muslim wajib meyakini bahwa Allah adalah pencipta, pemilik, pemelihara, dan pengatur. Dialah yang menghidupkan dan mematikan serta memberi rezeki kepada kita semua.

Apabila demikian keadaannya, wajib bagi setiap muslim beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Ia harus meyakini tidak ada yang dapat memberikan manfaat atau madarat, kecuali Allah semata. Dia harus mengenal nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya sesuai yang ditetapkan Allah dalam kitab-Nya atau melalui lisan Rasul-Nya, tanpa mengubah arti yang sesungguhnya, tanpa mengingkarinya, tanpa menyerupakan dengan makhluk-Nya, dan tanpa menanyakan kaifiyahnya (bagaimananya). Inilah yang dipahami oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya serta orang-orang yang beriman yang mengikuti jejak mereka. Barang siapa mengikuti jalan selain jalan mereka, maka orang tersebut sesat dan diancam oleh Allah dengan api neraka Jahannam.

Allah berfirman, "Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu. Dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali." (An-Nisa: 115).

Seseorang yang beribadah kepada Allah semata, ia pasti mencintai-Nya dan mengharapkan rahmat-Nya serta takut akan azab dan siksa-Nya.

Imam Ibnu Qayim al-Jauziyah dalam kitabnya, Raudhatul Muhibbin wa-Nuzhatul Musytaqin, menerangkan tentang tanda-tanda orang yang cinta kepada Allah, di antaranya tunduk dan patuh kepada Allah, selalu ingat kepada-Nya, mencintai apa yang dicintai-Nya, dan membenci apa yang dibenci-Nya, lebih mengutamakan rida Allah daripada rida makhluk-Nya, sabar dan rida atas musibah yang menimpanya, memiliki kecemburuan terhadap Allah, yakni apabila dia akan marah jika aturan-aturan Allah dilanggar, selalu berupaya menegakkan agama Allah, berdakwah mengajak manusia ke jalan Allah, berjihad di jalan Allah dengan harta maupun jiwanya.

Pengertian Nasihat kepada Kitab Allah

Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi rhm. dalam kitabnya, Ta'dzimu Qadris Shalah, mengatakan, "Sedangkan nasihat kepada kitab Allah adalah dengan mengagungkan dan mencintainya. Karena, Alquran adalah kalamullah. Lalu, memiliki perhatian dan keinginan yang kuat untuk memahaminya, mempelajari dengan didasari rasa cinta kepadanya, serius dan penuh konsentrasi pada saat membacanya agar dapat memahami sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Selanjutnya, ia dituntut mengamalkan seluruh isi Alquran, berakhlak dengan akhlaknya dan beradab dengan adabnya, setelah itu ia harus menyebarluaskannya kepada manusia apa yang telah ia pahami."

Untuk memahami Alquran dengan pemahaman yang benar, seseorang haruslah memahami metode yang benar pula. Imam Ibnu Katsir rhm. menjelaskan dalam Muqaddimah Tafsir Alquran al-Adzim, "Sebenar-benar metode tafsir adalah penafsiran Alquran dengan sunah, penafsiran Alquran dengan ucapan para sahabat, dan penafsiran Alquran dengan ucapan tabi'in."

Adapun penafsiran Alquran dengan ra'yu (pendapat) semata hukumnya adalah haram. Demikian sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyah rhm. (Al-Muqaddimah fi Ushulit Tafsir).

Pengertian Nasihat kepada Rasulullah

Setiap muslim harus mengetahui sejarah hidup Rasulullah saw. dan mengerahkan segala kemampuannya untuk taat, membela, dan menolongnya. Seseorang yang bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, berarti dia harus membenarkan segala apa yang diberitakan beliau meskipun tidak masuk akal, menaati segala yang diperintahkannya dan menjauhi segala yang dilarangnya serta beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan beliau.

Seorang muslim harus yakin pula bahwa Nabi Muhammad saw. mendapat hak dari Allah untuk mewajibkan atau mengharamkan sesuatu meskipun tidak terdapat dalam Alquran. (Ar-Risalah, Imam Syafii).

Firman Allah, "(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan mereka segala yang baik dan mengharamkan mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Alquran), mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Al-A'raf: 157).

Orang-orang yang menang adalah yang membawa kecintaan dan ketaatan pada jejak beliau, sedang orang-orang yang merugi adalah yang terhalang dari mengikuti ajarannya. Barang siapa taat kepada beliau, maka berarti taat kepada Allah; dan barang siapa menentangnya, berarti dia telah menentang Allah, dan kelak akan mendapat balasan yang setimpal.

Pengertian Nasihat kepada Para Pemimpin Muslim

Syekh Muhammad Hayat as-Sindy rhm. dalam kitabnya, Syarahul Arba'in an-Nawawiyah, berkata, "Yang dimaksud para pemimpin muslim adalah para penguasa mereka. Seorang muslim haruslah menerima, mendengar, dan taat kepada para penguasa selama yang diperintahkan bukan maksiat. Sebab, tidak boleh taat kepada makhluk dalam hal kemaksiatan terhadap Allah Maha Pencipta. Tidak boleh memerangi mereka selama mereka belum kafir, berusaha memperbaiki keadaan mereka, meluruskan kesalahan mereka dengan jalan amar makruf nahi mungkar, mendoakan mereka agar mendapatkan kebaikan, karena kebaikan mereka berarti kebaikan bagi rakyat, dan kerusakan mereka berarti kerusakan bagi rakyat."

Pengertian Nasihat kepada Kaum Muslimin pada Umumnya

Setiap muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya. Rasulullah saw. menggambarkan perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal cinta, kasih sayang, dan kelembutan antar-sesama mereka bagaikan satu tubuh. Jika ada bagian tubuh yang merasa sakit, seluruh tubuh merasakan sakit pula sehingga tidak dapat tidur.

Seorang muslim haruslah mencintai kaum muslimin sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, turut serta memikirkan dan memudahkan urusan mereka, turut bersedih atas kesedihan mereka, tidak menipu mereka, tidak menzalimi mereka dalam bentuk apa pun, membela orang-orang yang dizalimi tanpa pamrih semata-mata mencari rida Allah, tidak menimbun barang sehingga harganya melambung tinggi, mengajak mereka ke dalam kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran dan kesesatan, mengasihi yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua di antara mereka.

sumber: Jeddah Dakwah Centre (JDC) Series on Islam

Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia